PREDIKSI SGP — Kasus perundungan kembali mencuat setelah seorang siswa SMP berinisial MH, 13 tahun, meninggal dunia usai sepekan menjalani perawatan intensif di RS Fatmawati. MH diduga menjadi korban bullying oleh teman sekelasnya di SMPN 19 Kota Tangerang Selatan. Insiden kekerasan itu terjadi pada 20 Oktober 2025 dan sejak saat itu kondisi kesehatannya terus memburuk hingga akhirnya meninggal pada Minggu pagi, 16 November 2025.

Kabar duka tersebut dikonfirmasi oleh Markum, Ketua RT tempat keluarga korban tinggal. Ia membenarkan bahwa MH memang menjadi korban perundungan di sekolahnya. Polisi telah memeriksa enam saksi untuk memastikan kaitan antara tindakan kekerasan yang dialami korban dan kondisi penyakit yang disebut-sebut sudah dideritanya sebelumnya.

Kapolres Tangerang Selatan AKBP Victor D.H. Inkiriwang menjelaskan bahwa penyidik masih menunggu hasil pendalaman medis untuk mengetahui riwayat kesehatan MH secara lengkap. Pemeriksaan terhadap orang tua korban juga akan dilakukan ketika kondisi mereka memungkinkan. Sementara itu, KPAI turut turun tangan mengawal kasus ini.

Kasus ini pertama kali mencuat ke publik setelah Rizky Fauzi, kakak korban, mengabarkan kondisi adiknya melalui pesan ke akun sosial media @tangsel_update. Dalam pesannya, Rizky menyebut adiknya dipukul dengan kursi besi oleh teman sekelas dan sejak itu mengalami sakit kepala hebat, penglihatan menurun, sering pingsan, hingga tidak mampu berjalan.

Respons Sekolah dan Polemik Penyelesaian Kasus

Pihak sekolah mengaku telah memediasi kedua keluarga tak lama setelah kejadian. Kepala SMPN 19 Tangsel, Frida Tesalonik, menyebut bahwa orang tua terduga pelaku telah sepakat menanggung biaya pengobatan. Namun menurut keluarga korban, komitmen tersebut tidak dijalankan sepenuhnya.

Sementara itu, Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie menyampaikan bahwa korban diketahui memiliki penyakit tumor yang baru terdeteksi setelah dirawat di rumah sakit. Pernyataan ini menuai kritik karena dinilai dapat memunculkan stigma dan mempersempit pencarian keadilan bagi keluarga korban.

Bullying sebagai Fenomena Gunung Es

Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, mengingatkan bahwa kasus seperti ini tidak bisa selesai hanya dengan mediasi. Ia menilai diperlukan investigasi independen untuk menemukan akar masalah. Narasi mengenai penyakit bawaan korban, menurutnya, justru berpotensi mengaburkan fokus pada tindakan kekerasannya sendiri.

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, juga menyayangkan masih banyak sekolah yang menganggap kasus bullying sebagai aib yang dapat mencoreng reputasi institusi. Sikap ini membuat perundungan menjadi fenomena gunung es yang tidak pernah ditangani secara serius. Diyah menegaskan bahwa TPPK yang seharusnya bertugas mencegah dan menangani kekerasan di sekolah sering kali hanya formalitas.

Padahal, Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 sudah jelas mengamanatkan pembentukan TPPK di sekolah dan Satgas PPKSP di tingkat daerah.

Kinerja TPPK dan Satgas PPKSP Dinilai Tidak Efektif

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut bahwa kasus yang menimpa MH menunjukkan kondisi darurat kekerasan di lingkungan pendidikan. Ia mengatakan bahwa bullying terhadap MH sudah terjadi sejak masa MPLS pada Juli 2025, namun tidak ada langkah nyata dari pihak sekolah maupun Satgas PPKSP.

Menurutnya, TPPK di banyak sekolah hanya dibentuk untuk memenuhi syarat administratif dan tidak menjalankan fungsi perlindungan sebagaimana mestinya. Banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti dengan serius, bahkan korban tidak mendapat pendampingan yang layak.

Ubaid menegaskan bahwa kepala sekolah bertanggung jawab penuh atas keamanan siswa. Jika tidak mampu menciptakan lingkungan yang aman, ia meminta agar kepala sekolah mundur dari jabatannya. Ia juga menyoroti satgas di tingkat daerah yang dianggap menerima anggaran tanpa menunjukkan hasil kerja yang jelas.

By admin