TVTOGEL — Penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat. Dua tokoh publik, Bivitri Susanti dan Romo Magnis Suseno, secara terbuka menentang usulan tersebut dengan alasan historis dan hukum.

Bivitri Susanti: Terhalang TAP MPR 1998

Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai Soeharto tidak memenuhi syarat untuk menjadi pahlawan nasional karena terhalang oleh Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dalam pasal 4 TAP tersebut disebutkan bahwa pemberantasan KKN harus dilakukan terhadap siapa pun, termasuk mantan presiden dan kroninya. “Aturan itu masih berlaku. Jadi secara konstitusional, Soeharto tidak bisa diangkat menjadi pahlawan nasional,” ujar Bivitri dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Meski pada 2024 nama Soeharto sempat dihapus dari TAP MPR ketika dipimpin Bambang Soesatyo, Bivitri menegaskan bahwa penghapusan tersebut tidak mengubah substansi amar keputusan. “Yang ada itu pidato politik, bukan perubahan hukum,” tegasnya.


Kekhawatiran Akan Kembalinya UUD 1945 Naskah Awal

Lebih lanjut, Bivitri mengkhawatirkan bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional bisa membuka jalan bagi upaya mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya, sebelum amandemen reformasi. Ia menilai langkah itu berisiko menghapus capaian demokrasi yang sudah dibangun sejak 1998.

“Kalau legitimasi perubahan UUD 1945 hilang karena Soeharto dianggap pahlawan, maka jalan untuk kembali ke naskah awal akan terbuka lebar,” ujarnya.

Ia juga menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang, termasuk kemungkinan memperpanjang masa jabatan presiden lebih dari dua periode seperti masa Orde Baru. “Amandemen pembatasan masa jabatan itu justru lahir dari pengalaman pahit di era Soeharto,” tambahnya.


Romo Magnis: Soeharto Tak Layak Disebut Pahlawan

Sementara itu, Romo Magnis Suseno, pengajar dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, juga menolak keras rencana penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ia menilai Soeharto tidak layak diberi gelar tersebut karena rekam jejak pelanggaran hukum dan moral selama 32 tahun kepemimpinannya.

“Soeharto melakukan korupsi besar-besaran, memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Itu bukan sikap seorang pahlawan nasional,” kata Romo Magnis.

Ia menambahkan, selain kasus korupsi, Soeharto juga bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran kemanusiaan berat, termasuk pembunuhan massal pasca peristiwa G30S 1965 dan operasi militer selama masa pemerintahannya. “Itu termasuk salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ke-20,” ujarnya.


Harapan untuk Pemerintah dan Dewan Gelar

Romo Magnis berharap pemerintah, terutama Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, berhati-hati dalam menetapkan gelar pahlawan nasional. Ia menegaskan bahwa pahlawan sejati adalah sosok yang berjuang tanpa pamrih demi bangsa, bukan yang memperkaya diri sendiri.

“Pahlawan nasional seharusnya orang yang rela berkorban untuk kepentingan rakyat, bukan yang mengambil keuntungan dari jabatannya,” katanya.

Meski demikian, Romo Magnis tetap mengakui bahwa Soeharto memiliki kontribusi positif dalam beberapa hal, seperti menjaga stabilitas politik dan memperbaiki hubungan diplomatik dengan Malaysia setelah masa konfrontasi. “Soeharto tidak perlu disangkal seluruhnya. Ia juga berperan membawa Indonesia ke ASEAN dan memperbaiki posisi internasional kita,” ujarnya menambahkan.


Kesimpulan: Gelar Pahlawan Harus Berdasarkan Nilai, Bukan Kekuasaan

Polemik mengenai usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional menunjukkan bahwa definisi kepahlawanan di Indonesia masih menjadi perdebatan publik. Bagi Bivitri dan Romo Magnis, gelar pahlawan bukan soal jasa politik atau pembangunan ekonomi, melainkan soal moral, kejujuran, dan integritas.

“Gelar pahlawan harus diberikan kepada mereka yang bekerja tanpa pamrih, bukan kepada figur yang rekam jejaknya dipenuhi pelanggaran hukum dan kemanusiaan,” tutup Romo Magnis.

By admin