TVTOGEL — Polda Metro Jaya (PMJ) baru-baru ini meluncurkan program pemolisian masyarakat (Polmas) yang melibatkan ribuan pengemudi ojek online (ojol) sebagai mitra dalam menjaga ketertiban dan keamanan di Jakarta. Program ini, yang dinamakan Ojol Kamtibmas, bertujuan untuk menjadikan pengemudi ojol sebagai bagian dari komunitas yang membantu aparat kepolisian dalam mengawasi dan melaporkan kejadian-kejadian kriminal di jalanan ibu kota.

Dalam program tersebut, PMJ menawarkan hadiah uang sebesar Rp500 ribu bagi pengemudi ojol yang berhasil merekam atau melaporkan aksi kriminal yang terjadi di wilayahnya. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan mengklaim bahwa sekitar 400 ribu pengemudi ojol berminat menjadi bagian dari program ini, dengan sekitar 10 ribu ojol yang hadir dalam apel peresmian yang digelar di Monas pada 20 Oktober 2025.

Listyo menyatakan bahwa peran pengemudi ojol sangat penting dalam mendeteksi dan melaporkan tindak kriminal, mengingat mereka sering berada di jalanan dan dapat memberikan informasi yang cepat dan akurat kepada polisi. Menurutnya, ini merupakan langkah strategis dalam memperkuat konsep community policing, yang terus dikembangkan oleh Polri untuk mempercepat respons terhadap kejadian-kejadian kejahatan.

Namun, meski program ini tampak menjanjikan, ada sejumlah masalah yang perlu diperhatikan. Salah satu isu utama yang muncul adalah tentang batasan peran pengemudi ojol sebagai mitra polisi. Meminta warga sipil untuk bertindak sebagai “mata dan telinga” kepolisian dapat menciptakan garis kabur antara tugas masyarakat dan fungsi profesional kepolisian. Polisi, yang seharusnya memiliki kewenangan dan pelatihan khusus, berisiko menempatkan pengemudi ojol dalam situasi yang berbahaya tanpa perlindungan yang memadai.

Menurut Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, pelibatan ojol dalam kegiatan pengawasan seperti ini berisiko melanggar prinsip dasar Polmas, yang seharusnya melibatkan anggota Polri yang terlatih. “Menempatkan masyarakat dalam peran yang seharusnya dijalankan oleh polisi bisa menimbulkan masalah, terutama jika mereka tidak memiliki pelatihan atau perlindungan yang cukup,” kata Alif.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa program ini bisa menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Pengemudi ojol, yang berperan sangat penting dalam mobilitas masyarakat, dapat terjebak dalam situasi di mana mereka harus memilih antara mendukung polisi atau kelompok masyarakat lainnya yang mungkin memiliki tujuan berbeda. Dalam kasus sebelumnya, pengemudi ojol bahkan menjadi korban kekerasan oleh aparat, seperti yang terjadi pada Affan Kurniawan yang tewas setelah dilindas oleh kendaraan Brimob pada Agustus 2025.

Sementara itu, pengamat kepolisian Bambang Rukminto menegaskan bahwa meskipun keterlibatan masyarakat dalam menjaga keamanan adalah hal yang positif, tugas penegakan hukum tetap harus menjadi tanggung jawab penuh kepolisian. “Polisi harus memastikan bahwa peran masyarakat, seperti ormas dan ojol, hanya sebatas pada tindakan preventif dan bukan sampai pada penegakan hukum,” ujar Bambang.

Di sisi lain, sebagian pengemudi ojol mendukung program ini, namun mereka juga menekankan perlunya sosialisasi yang lebih jelas tentang apa yang diharapkan dari mereka. Ketua Umum Ojol Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menyarankan agar Polda Metro Jaya memberikan pelatihan dan asesmen kepada pengemudi ojol yang terlibat, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan benar.

Di tengah pro dan kontra ini, program Ojol Kamtibmas tetap menunjukkan potensi besar untuk membangun hubungan yang lebih erat antara polisi dan masyarakat. Namun, jika tidak diatur dengan hati-hati, pelibatan masyarakat dalam tugas kepolisian dapat membuka potensi konflik sosial yang lebih besar.

By admin