Slot Dana 5000 — Dalam pengakuan yang jarang terjadi, Wakil Kepala Polri Komjen Dedi Prasetyo secara terbuka mengakui sejumlah kelemahan fundamental dalam tubuh institusi kepolisian. Pengakuan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, yang mengungkap fakta mengejutkan: masyarakat kini lebih memercayai Pemadam Kebakaran untuk menangani laporan daripada polisi.

“Quick response time standar PBB di bawah 10 menit, kami masih di atas 10 menit. Saat ini masyarakat lebih mudah melaporkan segala sesuatu ke Damkar karena quick response-nya cepat,” ujar Dedi di Gedung DPR, Selasa (18/11/2025).

Berikut adalah lima masalah kunci yang diungkapkan Wakapolri dan menjadi fokus reformasi Polri ke depan:

1. Waktu Tanggap Darurat yang Lambat

Pelayanan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) menjadi sorotan utama. Waktu tanggap darurat Polri masih berada di atas standar internasional 10 menit yang ditetapkan PBB. Ketidakmampuan merespons cepat ini membuat masyarakat beralih ke instansi lain seperti Damkar yang dinilai lebih responsif.

2. Kinerja Sumber Daya Manusia yang Memprihatinkan

Data internal menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan:

  • 15 dari 47 Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) di Polda under performance
  • 67% dari 4.340 Kapolsek kinerjanya di bawah standar
  • 36 dari 440 Kapolres memiliki kinerja tidak baik

Masalah diperparah dengan proses rekrutmen yang kurang tepat, dimana hampir 50% Kapolsek diisi oleh perwira lulusan Perwira Alih Golongan (PAG).

3. Lemahnya Pengawasan Internal

Dedi menyoroti minimnya pengawasan dalam internal Polri sebagai akar masalah penyalahgunaan wewenang. “Kenapa terjadi arogansi? Kenapa terjadi abuse of power? Karena pengawasan kita kurang kuat,” tegasnya.

Sebanyak 62% masalah pelayanan publik terjadi di tingkat Polsek, Polres, dan Polda, dengan fenomena police brutality dan penyalahgunaan senjata api yang kerap berujung pada hilangnya nyawa.

4. Kurangnya Empati dan Pemahaman Kasus

Pengamat kepolisian Poengky Indarti menilai Polri tidak hanya butuh kecepatan, tetapi juga empati. “Bukan saja gerak cepat, tetapi sikap genuine melayani, mengayomi, melindungi, diiringi skill dan knowledge serta empati yang perlu ditingkatkan,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus KDRT dimana polisi menangkap lalu memulangkan pelaku, yang kemudian balas dendam dengan membunuh anaknya. Ini menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam terhadap kasus yang ditangani.

5. Kendala Teknis dan Mindset Pelayanan

Bambang Rukminto dari ISESS menambahkan, selain kendala geografis di daerah terpencil, masalah utama justru terletak pada mindset pelayanan yang belum merata. Di perkotaan dimana infrastruktur memadai, kelambanan respons lebih disebabkan kurangnya sensitivitas dan inisiatif polisi.

Layanan 110: Antara Potensi dan Tantangan

Layanan darurat 110 dinilai belum optimal baik dari sisi internal maupun eksternal. Di internal, respons operator dan kecepatan anggota sampai ke lokasi masih menjadi masalah. Sementara masyarakat banyak yang belum mengetahui atau tidak percaya dengan layanan ini.

Bambang menekankan perlu pelatihan khusus bagi personel operator dan sosialisasi intensif kepada masyarakat. “Ada temuan masyarakat masih enggan dan kadang main-main dengan hotline tersebut karena ketidaktahuan atau ketidakpercayaan terhadap respon kepolisian,” ujarnya.

Menuju Perbaikan Berkelanjutan

Meski mengungkap banyak kelemahan, pengakuan terbuka Wakapolri ini justru diapresiasi sebagai langkah awal reformasi yang jujur. Bambang menilai ini sebagai bentuk introspeksi yang patut diapresiasi.

Solusi yang diusulkan meliputi perbaikan rekrutmen, penguatan pengawasan internal, peningkatan kualitas SDM, dan yang terpenting: perubahan mindset pelayanan dari sekadar penegak hukum menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.

Dengan pengakuan ini, diharapkan Polri dapat membangun fondasi yang lebih kuat untuk menjadi institusi yang benar-benar presisi dan dipercaya masyarakat.

By admin